Powered By Blogger

Selasa, 17 Agustus 2010

Posisi Al-Hafidh Ibnu Katsir dalam At-Tahkim 'Alal Qawanin


Sebagian takfiriyyuun membawakan hujjah perkataan Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah untuk mengkafirkan penguasa yang berhukum dengan selain hukum Alah (undang-undang buatan) dengan tanpa perincian – sebagaimana pemahaman Ahlus-Sunnah. Berikut perkataan beliau (Ibnu Katsir) saat menjelaskan kekafiran penguasa Tartar, yang kemudian mereka jadikan ‘tameng’ atas kesesatan mereka[1] :
وفي ذلك كله مخالفة لشرائع الله المنزلة على عباده الانبياء عليهم الصلاة والسلام، فمن ترك الشرع المحكم المنزل على محمد بن عبد الله خاتم الانبياء وتحاكم إلى غيره من الشرائع المنسوخة كفر، فكيف بمن تحاكم إلى الياسا وقدمها عليه ؟ من فعل ذلك كفر بإجماع المسلمين.
“Dalam semua hal itu terdapat penyelisihan terhadap syari’at Allah yang diturunkan kepada para Nabi ‘alaihimush-shalaatu was-salaam. Barangsiapa yang meninggalkan syari’at-syari’at yang diturunkan kepada Muhammad bin ‘Abdillah, penutup para Nabi, dan sekaligus berhukum dengan syari’at-syari’at yang telah dihapuskan, maka ia kafir. Lantas, bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Yaasiq dan lebih mengutamakannya daripada hukum Allah ? Siapa saja yang berbuat demikian, maka ia kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 13/139, tahqiq : ‘Aliy Syiiriy; Daaru Ihyaa At-Turaats Al-‘Arabiy, Cet. 1/1408 H].
Para takfiriyyun telah keliru karena melihat perkataan Ibnu Katsir dengan ‘kaca mata kuda’, dengan tanpa memperhatikan keterangan-keterangan lain yang menjelaskan perkataan beliau tersebut.
Ketahuilah wahai ikhwan yang dirahmati Allah, perkataan Ibnu Katsir di atas dikatakan saat membahas kekafiran penguasa Tartar. Mereka (penguasa Tartar) telah mengutamakan hukum Yaasiq dan mengunggulkannya di atas syari’at Allah ta’ala. Dan lebih rinci seperti apa keadaan mereka, berikut penjelasannya – sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah - :
1. [يجعلون دين الإسلام كدين اليهود والنصارى، وأن هذه كلها طرق إلى الله، بمنزلة المذاهب الأربعة عند المسلمين‏.‏ ثم منهم من يرجح دين اليهود أو دين النصارى، ومنهم من يرجح دين المسلمين]
“Mereka menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi dan Nashrani, dan bahwa semua (agama) ini merupakan jalan menuju Allah. (Kedudukan agama-agama tersebut) seperti kedudukan madzhab yang empat pada kaum muslimin. Lalu di antara mereka ada yang memilih agama Yahudi, Nashrani, atau agama Islam” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/523].
2. [حتى إن وزيرهم الخبيث الملحد المنافق صنف مصنفًا، مضمونه أن النبى صلى الله عليه وسلم رضى بدين اليهود والنصارى، وأنه لا ينكر عليهم، ولا يذمون ولا ينهون عن دينهم، ولا يؤمرون بالانتقال إلى الإسلام]
“Hingga wazir (menteri) mereka yang buruk, mulhid (atheis), lagi munafiq menulis satu tulisan yang isinya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meridlai agama Yahudi dan Nashrani, dan beliau tidak mengingkari mereka, tidak mencela mereka, tidak melarang mereka dari agama mereka, serta tidak menyuruh mereka untuk pindah kepada agama Islam” [idem, 28/526].
3. [فهذا وأمثاله من مقدميهم كان غايته بعد الإسلام أن يجعل محمداً صلى الله عليه وسلم بمنزلة هذا الملعون‏.‏ ومعلوم أن مسيلمة الكـذاب كان أقل ضرراً على المسلمين من هذا، وادعى أنه شريك محمد فى الرساله، وبهذا استحل الصحابة قتاله وقتال أصحابه المرتدين، فكيف بمن كان فيما يظهره من الإسلام يجعل محمدًا كجنكسخان‏؟‏‏!‏]
“Orang ini dan semisalnya dari pendahulu mereka mempunyai tujuan – setelah Islam – untuk menjadikan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti kedudukan orang terlaknat ini (yaitu Jenghis Khaan). Dan telah diketahui bahwa Musailamah al-kadzdzaab lebih sedikit kemudlaratannya pada keum muslimin daripada orang ini. Musailamah dulu mendakwakan dirinya sebagai sekutu Muhammad dalam hal risalahnya. Atas dasar ini, para shahabat menghalalkan untuk membunuhnya dan membunuh para pendukungnya dari kalangan murtadiin. Lantas, bagaimana dengan orang yang menampakkan dirinya sebagai seorang muslim namun menjadikan Muhammad seperti Jenghis Khaan ?!” [idem, 28/522].
4. [كما قال أكبر مقدميهم الذين قدموا إلى الشام، وهو يخاطب رسل المسلمين ويتقرب إليهم بأنا مسلمون‏.‏ فقال‏:‏ هذان آيتان عظيمتان جاءا من عند الله، محمد وجنكسخان‏.‏ فهذا غاية ما يتقرب به أكبر مقدميهم إلى المسلمين، أن يسوى بين رسول الله وأكرم الخلق عليه وسيد ولد آدم وخاتم المرسلين، وبين ملك كافر مشرك من أعظم المشركين كفراً وفساداً وعدواناً من جنس بختنصر وأمثاله]
“Sebagaimana dikatakan orang terbesar mereka tedahulu saat datang ke negeri Syaam, yang berbicara kepada utusan-utusan kaum muslimin dan mendekat kepada mereka serta mengaku bahwa mereka adalah kaum muslimin. Ia berkata : ‘Dua orang ini adalah ayat terbesar yang datang dari sisi Allah’, mereka adalah Muhammad dan Jenghis Khaan. Maka ini tujuan orang terbesar mereka terdahulu ketika mengadakan pendekatan kepada kaum muslimin dengan menyamakan Rasulullah – makhluk paling mulia, penghulu anak Adam, dan penutup para Rasul – dengan raja kafir, musyrik yang dia itu termasuk sebesar-besar orang musyrik dalam kekafiran, kerusakan, permusuhan, seperti Nebukadnezar dan semisalnya” [idem, 28/521].
5. [وذلك أن اعتقاد هؤلاء التتار كان فى جنكسخان عظيما، فإنهم يعتقدون أنه ابن الله من جنس ما يعتقده النصارى فى المسيح، ويقولون‏:‏ إن الشمس حبلت أمه، وأنها كانت فى خيمة فنزلت الشمس من كوة الخيمة فدخلت فيها حتى حبلت‏.‏ ومعلوم عند كل ذى دين أن هذا كذب‏.‏ وهذا دليل على أنه ولد زنا، وأن أمه زنت فكتمت زناها، وادعت هذا حتى تدفع عنها مَعَرَّة الزنا]
“Yang demikian itu karena keyakinan orang-orang Tartar terhadap Jenghis Khan sangat besar. Mereka meyakini bahwa ia adalah anak Allah seperti keyakinan orang Nashrani terhadap Al-Masih. Mereka mengatakan : Sesungguhnya matahari menghamili ibunya, dahulu ibunya ada di sebuah kemah lalu turunlah matahari dari lubang kemah dan masuk ke dalamnya hingga hamil. Padahal sudah diketahui oleh setiap orang yang beragama bahwa ini adalah sebuah kedustaan, dan ini merupakan dalil bahwa ia adalah anak zina, dan ibunya berzina, lalu menyembunyikan perbuatannya itu dan mendakwakan hal ini agar terlepas dari aib perzinaan” [idem, 28/521].
6. [وهم مع هذا يجعلونه أعظم رسول عند الله فى تعظيم ما سنه لهم وشرعه بظنه وهواه،حتى يقولوا لما عندهم من المال‏:‏هذا رزق جنكسخان،ويشكرونه على أكلهم وشربهم، وهم يستحلون قتل من عادى ما سنه لهم هذا الكافر الملعون المعادى لله ولأنبيائه ورسوله وعباده المؤمنين]
“Mereka juga menjadikannya sebagai utusan yang paling mulia di sisi Allah dalam pengagungan apa-apa yang disunnahkan dan disyari’atkannya atas dasar prasangka dan hawa nafsunya, sampai-sampai mereka mengatakan ketika mereka memiliki sebagian harta : ‘Ini adalah rizki dari Jenghis Khan’. Mereka mensyukurinya ketika makan dan minum, mereka menghalalkan untuk membunuh orang yang memusuhi apa-apa yang disunnahkan bagi mereka oleh orang kafir yang terlaknat ini, yang memusuhi Allah, para Nabi dan Rasul-Nya, serta para hamba-Nya yang beriman” [idem, 28/521-522].
Inilah di antara keadaan raja Tartar yang masuk agama Islam dan berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dengan pengingkaran dan penghalalan. Mereka juga tenggelam dalam hal-hal yang membatalkan ke-Islaman mereka. Jika demikian, maka tidak ada perbedaan pendapat mengenai kekafiran mereka ini. Inilah yang dimaksud dengan objek ijma’ kekafiran orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Sekaligus, ini sebagai penjelas apa yang dituliskan oleh Ibnu Katsir saat menafsirkan QS. Al-Maaidah ayat 50 :
ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المُحْكَم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان أهل الجاهلية يحكمون به من الضلالات والجهالات، مما يضعونها بآرائهم وأهوائهم، وكما يحكم به التتار من السياسات الملكية المأخوذة عن ملكهم جنكزخان، الذي وضع لهم اليَساق وهو عبارة عن كتاب مجموع من أحكام قد اقتبسها عن شرائع شتى، من اليهودية والنصرانية والملة الإسلامية، وفيها كثير من الأحكام أخذها من مجرد نظره وهواه، فصارت في بنيه شرعًا متبعًا، يقدمونها على الحكم بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم. ومن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله، حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله [صلى الله عليه وسلم] فلا يحكم سواه في قليل ولا كثير،
“Allah ta’ala mengingkari orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam dan mencakup segala kebaikan, yang mencegah segala bentuk kejahatan, dan berpaling kepada selain hukum Allah berupa pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, hawa nafsu, dan berbagai istilah yang dibuat oleh orang-orang dengan tidak didasarkan pada syari’at Allah sebagaimana dilakukan oleh kaum jahiliyyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang diletakkan berdasarkan pada pandangan dan hawa nafsu mereka. Sebagaimana orang-orang Tartar berhukum dengan hal-hal tersebut dalam politik kerajaan yang diambil dari raja mereka Jenghis Khaan yang dibuat oleh Yaasiq, berupa sebuah kitab yang mengandung hukum yang bersumber dari bermacam-macam syari’at : Yahudi, Nashrani, dan Islam. Di dalamnya terdapat banyak hukum yang diambil yang hanya berdasarkan pendapat dan hawa nafsu, lalu menjadi syari’at yang diikuti oleh anak cucunya. Mereka mengutamakannya daripada berhukum kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang berbuat seperti itu di antara mereka, maka ia kafir dan wajib diperangi hingga ia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak menjadikan selainnya sebagai hakim sedikit ataupun banyak” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/131].
Penjelasan Ibnu Katsir di atas kembali kepada keadaan para raja Tartar sebagaimana telah dijelaskan. Orang yang dikafirkan dalam konteks ini adalah orang yang mengikuti raja-raja Tartar dalam hal pengingkaran dan penghalalan terhadap selain hukum Allah, serta ketenggelaman mereka dalam hal-hal yang membatalkan Islam, sehingga akhirnya keluar (murtad) dari agama Islam.
Hal ini sangat selaras dengan perincian yang disebutkan Ibnu Katsir saat membahas ayat hukum :
﴿وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ لأنهم جحدوا حكم الله قصداً منهم وعناداً وعمداً، وقال ههنا : ﴿فَأُوْلَـئِكَ هُم الظَّالِمُون﴾ لأنهم لم ينصفوا المظلوم من الظالم في الأمر الذي أمر الله بالعدل والتسوية بين الجميع فيه، فخالفوا وظلموا وتعدوا
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44). Yang demikian itu karena mereka mengingkari (juhd) hukum Allah secara sengaja dan penuh pembangkangan. Sedangkan dalam ayat ini Allah ta’ala berfirman : ‘(Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah), Maka mereka itu adalah orang-orang yang dhaalim’ (QS. Al-Maaidah : 45). Yang demikian itu karena mereka tidak berlaku adil kepada yang didhalimi atas tindakan orang dhalim dalam perkara yang telah diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan (memberlakukan) secara sama di antara semua umat manusia. Namun mereka menyalahi dan berbuat dhalim” [Tafsir Ibnu Katsir 3/120, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayibah, Cet. 2/1420 H].
Perhatikan ! Al-Haafidh Ibnu Katsir telah memerinci siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir ketika seseorang berhukum dengan hukum selain yang diturunkan Allah. Mereka yang kafir adalah mereka yang mengingkari dengan penuh pembangkangan. Sedangkan yang orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena terpengaruh hawa nafsunya, sementara dalam hatinya masih mengakui eksistensi dan kewajiban untuk berhukum dengan hukum Allah – tidak dikafirkan. Ia termasuk orang yang salah lagi dhalim.
Dan sebelumnya, beliau juga membawakan riwayat :
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس، قوله: { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ } قال: من جحد ما أنزل الله فقد كفر. ومن أقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق. رواه ابن جرير.
“Telah berkata ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; ia berkata : Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah diturunkan Allah, berarti ia benar-benar kafir. Dan barangsiapa yang mengakuinya, namun tidak menjalankannya, maka adalah orang yang dhalim lagi fasiq” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/119].
Penjelasan perincian dari Ibnu Katsir mengenai masalah tahkim (berhukum) dengan selain yang diturunkan Allah adalah menyepakati perincian yang telah ditetapkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma di atas (baca juga artikel : Shahih Atsar Ibnu ‘Abbas : Kufrun Duuna Kufrin – Menjawab Sebagian Syubhat Takfiiriyyuun). Sungguh sangat berbeda dengan prinsip takfiriyyuun yang telah membutakan mata mereka atas penjelasan Ibnu Katsir yang terangnya melebihi matahari di siang hari.
Oleh sebab itu, pengkafiran orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah ditetapkan secara mutlak, namun tetap memerlukan perincian di sisi Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah.
Wallaahu ta’ala a’lam.
[Abul-Jauzaa’ – banyak mengambil penjelasan dari buku Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah karya Dr. Khaalid Al-Anbariy, kitab yang telah dipuji oleh Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallaah, yang diberikan taqdim oleh Asy-Syaikh Prof. Dr. Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hafidhahullah].


[1] Di antara mereka adalah Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisiy – yang kemudian banyak di-taqlidi oleh bapak Ustadz Aman ‘Abdurrahman – tokoh bom Cimanggis. Orang-orang HASMI Bogor juga banyak mengikuti pemikiran ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar