Powered By Blogger

Jumat, 13 Agustus 2010

Bincang Bersama Bapak Syamsuddin Ramadlaan - Revised-

Oleh : Abu Al-Jauzaa'

Ada hal yang menarik saat saya membaca komentar bapak Syamsuddiin Ramadlan, seorang da’i Hizbut-Tahriir, ketika ia berusaha keras melemahkan hadits ‘Iyyadl bin Ghanm tentang tata cara menasihati penguasa secara empat mata. Namun sayangnya, kritik haditsnya sangat tidak berterima dan terkesan membabi buta tanpa memperhatikan bagaimana thariqah ahli hadits dalam meneliti jalur-jalur riwayat tersebut. Saya hanya akan menambahkan sedikit dari apa yang telah saya tulis di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/takhrij-ringkas-hadits-iyaadl-bin-ghanm.html.


Untuk memudahkan, saya tulis ulang hadits yang akan dibahas sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : 'Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyaadl marah. Kemudian 'Iyaadl radliyallaahu ‘anhu tinggal beberapa malam, lalu Hisyaam bin Hakiim mendatanginya untuk memberikan alasan (apa yang telah ia perbuat sebelumnya kepada ‘Iyadl). Hisyaam berkata kepada 'Iyaadl : “Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?’. 'Iyaadl bin Ghanm berkata : “Wahai Hisyaam bin Hakiim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat. Namun tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya’. Engkau wahai Hisyaam, kamu sungguh orang yang lancang karena engkau berani melawan penguasa Allah. Tidakkah engkau takut jika penguasa itu membunuhmu lalu jadilah engkau orang yang dibunuh penguasa Allah tabaaraka wa ta'ala?” [Musnad Al-Imaam Ahmad, 3/403-404].
Riwayat Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm atau Hisyaam bin Hakiim Terputus ?
Bapak Syamsuddin Ramadlaan berkata :
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai "wasithah antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan "keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi'un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, ".Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar". Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi', dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari 'Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha'). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi' dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.
Jubair bin Nufair bin Maalik bin ‘Aamir Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; salah seorang kibaarut-taabi’iin yang menjumpai jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Ibnu Hibbaan mengatakan ia pernah menjumpai jaman jahiliyyah [Ats-Tsiqaat, 4/111. Lihat pula : At-Taariikh Al-Kabiir 2/224 no. 2275]. Ia meriwayatkan secara muttashil (bersambung) dari beberapa orang shahabat besar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya : Tsaubaan Maulaa Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Khaalid bin Waalid, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ‘Irbaadl bin Saariyyah, ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin, dan yang lainnya [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 4/509-510 no. 905]. Ia meriwayatkan secara mursal dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zur’ah [lihat : Jaami’ut-Tahshiil, hal. 153 no. 88]. Adapun penyimakannya dari ‘Umar bin Al-Khaththaab perlu diteliti kembali [Tahdziibul-Kamaal, 4/510].
Jika dikatakan riwayat Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm atau Hisyaam bin Hakiim terputus (munqathi’), dengan alasan bahwa Jubair membawakan lafadh periwayatan tidak dengan tashriih penyimakan[1], maka ini sangat layak untuk mendapat kritikan.
Kedudukannya hadits Jubair dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim adalah seperti hadits mu’an’an. Hadits mu’an’an dihukumi bersambung menurut jumhur muhadditsiin jika memenuhi persyaratan :
1.      Tetapnya ‘adalah perawi.
2.      Bukan seorang mudallis.
3.      Kemungkinan perawi tersebut bertemu dengan syaikh-nya – dimana ini merupakan madzhab Al-Imam Muslim rahimahullah, dan dihikayatkan ijma’.
[lihat : Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, hal. 1/359-377, tahqiq : Nuuruddin ‘Itr; Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah Syarh Al-Mandhuumah Al-Baiquuniyyah oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, hal. 171-172; dan Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 67-68].
Ketiga syarat tersebut dipenuhi oleh Jubair bin Nufair.
Ia seorang perawi tsiqah lagi jaliil. Ia termasuk perawi yang dipakai Muslim dalam Shahiih-nya. Abu Haatim berkata : "Tsiqah". An-Nasaa'iy berkata : "Tidak ada seorang pun dari kalangan kibaarut-taabi'iin yang lebih bagus riwayatnya dari para shahabat, daripada tiga orang : Qais bin Abi Haazim, Abu 'Utsmaan An-Nahdiy, dan Jubair bin Nufair". Ibnu Sa'd berkata : "Tsiqah". Ibnu Khiraasy berkata : "Ia termasuk tabi'iy daerah yang yang paling agung". Al-'Ijliy berkata : "Tsiqah". Abu Daawud juga mentsiqahkannya. Ya’quub bin Syaibah bekata : “Ia masyhuur dengan ilmunya”. [Tahdziibul-Kamaal, 4/509-514 no. 905 dan Tahdziibut-Tahdziib 2/64-65 no. 103].
Menukil perkataan Adz-Dzahabiy saja yang mengisyaratkan ia seorang yang layyin karena Al-Bukhaariy tidak membawakan riwayatnya adalah satu tindakan yang kurang fair. Sudah menjadi pemakluman bahwa tidak semua perawi tsiqah diambil oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya.
Ia pun bukan seorang mudallis (yang tidak diterima tadlis-nya). Memang benar, Ibnu Hajar mengklasifikasikannya dalam kelompok mudallisiin, akan tetapi Jubair ini masuk dalam tingkatan kedua [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 57 no. 39, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaimaan & Prof. Muhammad Ahmad]. Maknanya, tadlis-nya itu diterima karena riwayatnya menjadi hujjah dalam kitab Ash-Shahiih. Singkatnya, walaupun ia membawakan dengan shighah 'an, maka riwayatnya dihukumi muttashil sampai benar-benar ada keterangan yang pasti dari ulama hadits mu'tabar bahwa ia telah melakukan tadlis atau riwayatnya tersebut terputus (munqathi'). Dan dalam keterangan ulama mutaqaddimin tidak ada, kecuali keterputusan riwayatnya dari Abu Bakr dan 'Umar radliyallaahu 'anhumaa.
Ia pun sejaman dengan ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim, sehingga memungkinkan adanya pertemuan di antara mereka. Betapa tidak ? Jubair adalah kalangan muhdlaram yang tentu saja pernah semasa (mu’asharah) dengan ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakam. Dikuatkan lagi bahwa Jubair, ‘Iyaadl, dan Hisyaam adalah termasuk orang-orang yang sedaerah, yaitu Himsh (Syaam). Periwayatan Jubair dari kalangan shahabat yang dikritik kebersambungannya – sepanjang pengetahuan saya – hanyalah yang berasal dari Abu Bakr dan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa.
Selain itu, tidak ada tashriih perkataan dari ulama naqd yang mu’tabar bahwa Jubair bin Nufair tidak pernah bertemu atau mendengar dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim.
Oleh karena itu, hukum periwayatan Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim adalah bersambung muttashil – sesuai persyaratan Muslim. Klaim munqathi’ adalah klaim tanpa faedah yang menyelisihi kaedah ilmu hadits[2].
Yang lebih menambah keyakinan kita akan kebersambungan sanad tersebut adalah riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ وَجَدَ عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ وَهُوَ عَلَى حِمْصَ يُشَمِّسُ نَاسًا مِنْ النَّبَطِ فِي أَدَاءِ الْجِزْيَةِ فَقَالَ لَهُ هِشَامٌ مَا هَذَا يَا عِيَاضُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya Hisyaam bin Hakiim bin Hizaam mendapatkan 'Iyaadl bin Ghanm di Himsh menjemur rakyat jelata dalam masalah pembayaran jizyah. Lalu Hisyaam berkata kepadanya : “Wahai 'Iyaadl, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah tabaaraka wa ta’ala menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia’ [Al-Musnad, 3/404].
Sanad hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim.
Al-Imam Muslim juga membawakan hadits semakna sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ مَرَّ بِالشَّامِ عَلَى أُنَاسٍ وَقَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ وَصُبَّ عَلَى رُءُوسِهِمْ الزَّيْتُ فَقَالَ مَا هَذَا قِيلَ يُعَذَّبُونَ فِي الْخَرَاجِ فَقَالَ أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Hisyaam bin Hakiim  bin Hizaam, ia berkata : Aku pernah melewati beberapa orang di Syam yang dijemur di bawah terik matahari sedangkan kepala mereka dituangi minyak. Kemudian Hisyam bertanya : “Mengapa mereka ini dihukum ?”. Dikatakan : “Mereka disiksa karena masalah pajak (kharaj)”. Hisyaam berkata : “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia" [Shahih Muslim no. 2613].
Dua hadits di atas adalah hadits serupa dengan hadits yang sedang kita perbincangkan, namun hanya memuat sebagian lafadhnya saja.
Sisi pendalilannya adalah : Jika riwayat ‘Urwah bin Az-Zubair dari Hisyaam bin Hakiim dihukumi bersambung lagi shahih (sebagaimana dua riwayat di atas), maka riwayat Jubair bin Nufair lebih pantas untuk dihukumi bersambung dibandingkan ‘Urwah. Jubair termasuk kibaarut-taabi’iin, sedangkan ‘Urwah adalah taabi’iy pertengahan.
Riwayat Syuraih dari Jubair bin Nufair Terputus ?
Sebenarnya ini telah saya singgung dalam bahasan saya sebelumnya. Namun di sini saya akan mengulang sebagai penekanan saja.
Abul-Hasan bin Az-Ziyaadiy mengatakan bahwa Jubair wafat pada tahun 75 H. Ibnu Sa’d, Khaliifah bin Khayyaath, dan Ibnu Hibbaan mengatakan tahun 80 H. Yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dimana ia mengatakan : “Wafat tahun 80, dan dikatakan juga setelahnya” [At-Taqriib, hal. 195 no. 912]. Bahkan dalam Tahdziibut-Tahdziib (2/56), Ibnu Hajar membawakan perkataan Mu’aawiyyah bin Shaalih bahwa ia menjumpai masa Al-Waliid bin ‘Abdil-Malik (86 H).
Syuraih bin ‘Ubaid bin Syuraih bin ‘Abd bin ‘Ariib Al-Hadlramiy Al-Maqraaiy Abush-Shalt Asy-Syaamiy Al-Himshiy; termasuk golongan tabi’iy pertengahan, tsiqah, namun banyak memursalkan hadits, wafat setelah tahun 100 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 424 no. 2790].
Di sini terdapat petunjuk bahwa antara Syuraih dan Jubair bin Nufair semasa. Tidak ada tashriih dari ulama mu’tabar yang menyatakan kemursalan riwayat Syuraih dari Jubair. Oleh karena itu, riwayatnya di sini dihukumi bersambung. Tidak ada sedikitpun hujjah untuk mengatakan riwayat antara keduanya terputus (munqathi’).
Kritik terhadap Riwayat Ath-Thabaraaniy
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, "Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)". Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, "Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin 'Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta". Abu Hatim juga berkata tentang dia, "Syaikh la ba'sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma'in memujinya dengan baik". Dalam Tarikh Ibnu 'Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, "Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari 'Amru bin Harits". Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari 'Amru bin Harits!!!
Penulisan Ibnu Zuraiq ini keliru. Yang benar Ibnu Zibriiq. Lengkapnya : Ishaaq bin Ibraahiim bin Al-'Alaa' bin Adl-Dlahhaak bin Zibriiq Al-Himshiy Az-Zubaidiy [Al-Jarh wat-Ta'diil, 2/209 no. 711 dan Tahdziibul-Kamaal 2/369-371 no. 330]. Mengenai Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Ma’iin memujinya dengan berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bihi)” [Al-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 711]. An-Nasaa’iy – sebagaimana dinukil Al-Mizziy – mengatakan : “Tidak tsiqah”. Namun dalam riwayat Ibnu ‘Asaakir sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Badraan dalam At-Tahdziib (2/407), An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah, jika ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al-Haarits”. Jadi ketidaktsiqahan ini di-taqyid dalam periwayatan dari ‘Amru. Muhammad bin ‘Auf memutlakkan kedustaan terhadapnya. Abu Dawud mengikuti Muhammad bin ‘Auf dengan perkataannya : “Tidak ada apa-apanya”. Namun perkataan keduanya ini perlu ditinjau kembali, sebab Al-Bukhaariy (dalam Shahih-nya dengan periwayatan mu’allaq), Abu Haatim, Al-Fasaawiy, dan yang lainnya membawakan riwayatnya dimana tidak ada keraguan bahwa mereka tidaklah meriwayatkan dari para pendusta yang dikenal kedustaaannya. Abu Ishaaq Al-Huwainiy dalam Natsnun-Nabaal (hal. 176-177 no. 276) membawakan bahwa Maslamah bin Al-Qaasim mentsiqahkannya. Al-Haakim (Al-Mustadrak 3/290) dan Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat 8/113) men-tautsiq-nya. Perkataan yang benar di sini adalah bahwa Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq adalah shaduuq; riwayatnya lemah jika berasal dari ‘Amr bin Al-Haarits.
Dengan perkataan para imam di atas, nampaklah bagi kita riwayat Ishaaq bin Ibraahiim ini dapat digunakan sebagai mutaba’ah.
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, "Ia adalah mustaqim al-hadits". Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, "Tafarrada bi ar-riwayah 'anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya 'Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya". Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul.
Nampaknya, bapak Syamsuddiin Ramadlaan ini ingin menggunakan perkataan Adz-Dzahabiy untuk melemahkan ‘Amru bin Al-Haarits. Aneh sekali,…. dari sisi mana pekataan Adz-Dzahabiy itu menggugurkan riwayat ‘Amru bin Al-Haarits ? Adz-Dzahabiy berkata dalam Al-Kaasyif (2/73 no. 4136) : “Telah ditsiqahkan”. Para ulama telah menjelaskan jika Ibnu Hibbaan telah menjazmkan satu pentautsiqan, maka tautsiq-nya itu diterima. Sedangkan perkataan Adz-Dzahabiy bahwa hanya ada dua perawi yang meriwayatkan darinya, ini juga perlu kita cermati. Dalam kitab-kitab biografi perawi, tercatat empat orang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu : Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, ‘Ulwah, dan Muhammad bin ‘Auf Ath-Thaa’iy [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 21/569-570 no. 4340].
Pernyataan yang benar akan diri ‘Amru bin Al-Haarits adalah ia seorang yang tsiqah.
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak 'illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla'ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) 'Amru bin Harits,…..
Benar bahwasannya ‘Amru bin Ishaaq adalah perawi majhuul. Namun tidakkah ia sendiri membaca bahwa Ath-Thabaraaniy dalam riwayatnya itu mengambil dari tiga orang perawi ? Mereka adalah : ‘Amru bin Ishaaq, ‘Ammaarah bin Watsiimah, dan ‘Abdurrahmaan bin Mu’aawiyyah. ‘Ammaarah seorang yang shaduuq (Irsyaadul-Qaadliy, hal. 444-445) dan ‘Abdurrahmaan seorang yang majhuul haal (Irsyaadul-Qaadliy, hal. 357-358). Oleh karena itu, ketiganya saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Mungkin beliau ini tidak paham dengan yang dibaca dan yang ditulis.
Adapun klaimnya atas ‘parah-nya’ status Ishaaq bin Ibraahiim bin Zuraiq adalah penghukuman yang berlebih-lebihan tanpa mau menoleh dan menjamak perkataan para ulama naqd. Juga tentang ‘Amru bin Al-Haarits yang telah lewat penjelasannya di atas…..
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
(3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha') antara al-Fadlil dengan Ibnu 'Aidz, (5) terputusnya Ibnu 'Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6)
Kalau boleh saya katakan : ‘Ini hanyalah omong kosong belaka !!!’.
Al-Fudlail bin Fadlaalah (inilah penulisan yang benar) ini adalah Al-Hauzaniy Asy-Syaamiy. Tidak ada yang memberikan jarh kepadanya. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan tidak ada yang mentautsiq dirinya selainnya. Akan tetapi sejumlah perawi tsiqah meriwayatkan darinya sehingga statusnya adalah hasanul-hadiits.
Adapun klaimnya bahwa riwayatnya dari Ibnu ‘Aidz adalah munqathi’, ini juga tidak didasari bukti. Jika bapak Syamsuddiin mendasari perkataannya dari Ibnu Hajar dalam At-Taqriib bahwa ia memursalkan satu riwayat, maka Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal hanya menyatakan riwayat mursal-nya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Selain dari itu, maka perlu bukti ! agar tidak seenaknya orang mengatakan mursal atau munqathi’. Al-Fudlail termasuk shigaarut-taabi’iin dan Ibnu ‘Aidz termasuk tabi’iy pertengahan. Jadi, ini sangat mungkin bahwa keduanya semasa (mu’asharah). Lihat kembali persyaratan diterimanya hadits mu’an’an sebagaimana telah dituliskan di atas.
Hal yang sama tentang klaimnya bahwa riwayat Ibnu ‘Aaidz dengan Jubair bin Nufair terputus.
Logika Aneh
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang "koreksi sembunyi-sembunyi" merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Silakan para Pembaca mencermati hadits di atas. Hadits di atas menunjukkan bahwa Hakiim bin Hisyaam belum mengetahui hadits yang dimiliki ‘Iyaadl. Dan itu terbukti setelah ‘Iyaadl menyampaikan hadits, Hakiim tidak berkomentar apapun alias menerimanya. Tidak ada riwayat shahih yang menyatakan bahwa Hakiim setelah itu tetap melanjutkan apa yang diperbuat semula (mengoreksi penguasa secara terang-terangan).
Merapikan Jalur Periwayatan
Hadits ‘Iyaadl bin Ghanm tentang nasihat empat mata kepada pemimpin diriwayatkan oleh Ahmad (3/403-404) dari jalan : Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : 'Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyaadl marah…..dst.
Sanad hadits ini lemah karena inqithaa’ (keterputusan) antara Syuraih dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam.
Akan tetapi inqithaa’ ini disambung oleh Ibnu Abi ‘Aashim (no. no. 1097) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil : Telah menceritakan ayahku, dari Dlamdlam bin Zur’ah, dari Syuraih bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah berkata Jubair bin Nufair, ia berkata : Telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm kepada Hisyaam bin Hakiim : “Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘….(al-hadits)….”.
Sanad riwayat ini juga lemah karena kelemahan Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy. Selain itu, penyimakannya dari ayahnya dikritik oleh Abu Haatim [Tahdziibul-Kamaal, 24/483-484 no. 5067].
Syuraih mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaidz Al-Azdiy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi ‘Aashim (no. 1098) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin Saalim, dari Az-Zubaidiy, dari Al-Fudlail bin Fadlaalah, ia mengembalikannya kepada Ibnu ‘Aaidz, dan Ibnu ‘Aaidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair, dari ‘Iyaadl bin Ghanm, ia berkata kepada Hisyaam bin Al-Hakiim : “…..(al-hadits)….”.
Sanad riwayat ini lemah karena ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim. Hapalannya tercampur setelah kitab-kitabnya hilang [At-Taqriib, hal. 563 no. 3775].
‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/367 no. 1007, Al-Haakim 3/290, dan Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 7/18-19 dari jalan Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy, dari ‘Abdullah bin Saalim, selanjutnya seperti sanad di atas.
Sanad hadits ini lemah karena Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq. Ia seorang yang shaduuq, namun periwayatannya dari ‘Amru bin Al-Haarits adalah lemah dan ditinggalkan.
Dapat kita lihat bahwa dalam setiap thabaqah sanad saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Kelemahan masing-masing sanad bukanlah jenis kelemahan yang tidak menerima penguat berupa mutaba’aat. Oleh karena itu, hadits ini tidak jatuh lebih rendah dari derajat hasan. Bahkan, beberapa muhaddits telah men-jazm-kan dengan keshahihan seperti Al-Albaaniy, Al-Arna’uth, Ibnu Barjaas, dan Baasim Al-Jawaabirah.
Pendek kata, penghukuman bapak Syamsuddiin Ramadlan dengan kedla’ifan adalah penghukuman yang keliru, mengabaikan penguat-penguat yang dapat mengangkat kelemahan masing-masing sanad.
Dikarenakan hadits ini adalah hasan atau shahih, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang mengakui muslim untuk berpegang kepadanya dalam perkara syari’at. Termasuk dalam hal ini bapak Syamsuddiin Ramadlaan. Saya pribadi sangat mengharapkan agar beliau ini lebih mengutamakan As-Sunnah daripada terus membeo teologi Hizbut-Tahriir yang mengharuskan menentang/menolak hadits ‘Iyaadl bin Ghanm radliyallaahu ‘anhu. Apalagi hadits ini telah dipraktekkan oleh para shahabat besar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam muamalah mereka terhadap pemimpin kaum muslimin[3].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – 1431] - Direvisi tanggal : 13 Agustus 2010 pukul 15.00 WIB.
Adapun kritik hadits bapak Syamsuddin Ramadlaan adalah sebagai berikut (saat menanggapi kritikan Ustadz Badru Salam) :
Demikianlah, antum berusaha mati-matian menshahihkan hadits 'Iyadl bin Ghanm dengan cara mencari syahid maupun mutaba'ahnya. Sayang usaha antum tersebut malah menjerumuskan antum untuk mencari-cari dalih, untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu antum., bukan untuk menegakkan hujjah yang lurus. Namun, demi menegakkan sunnah dan kebenaran, ana akan jelaskan kelemahan jalur dari Imam Thabaraniy. Kelemahannya hadits ini terlihat dari kenyataan berikut ini:
Pertama, hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah, Shofwan, Syuraih bin 'Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi sebagai hadits munqathi', sehingga gugur sebagai hujjah.
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai "wasithah antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan "keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi'un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, ".Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar". Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi', dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari 'Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha'). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi' dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.
Adapun hadits dari jalur Mohammad bin 'Ayyasy, maka antum juga harus tahu Mohammad bin 'Ayyasy adalah dla'ifu al-hadits (dla'if haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta'diil, Abu Hatim berkata, "Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya". Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqriib berkata, "Mereka mencela dirinya karena ia menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya". Dalam hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia adalah dla'if, tidak tsiqqah".
Ketiga, jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, "Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)". Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, "Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin 'Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta". Abu Hatim juga berkata tentang dia, "Syaikh la ba'sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma'in memujinya dengan baik". Dalam Tarikh Ibnu 'Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, "Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari 'Amru bin Harits". Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari 'Amru bin Harits!!! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, "Ia adalah mustaqim al-hadits". Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, "Tafarrada bi ar-riwayah 'anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya 'Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya". Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul. Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak 'illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla'ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) 'Amru bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha') antara al-Fadlil dengan Ibnu 'Aidz, (5) terputusnya Ibnu 'Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu 'anhumaa. Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan.
Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma' az Zawaid, "Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil", maka harus dinyatakan bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di atas.
Keempat, permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah sanad dari Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah dijelaskan bahwa Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair meriwayatkan dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi munqathi' (terputus).
Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin 'Ubaid diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal darinya dihukumi inqitha' (terputus).
Adapun riwayat mu'an'anah dari 'Iyadl bin Ghanm, maka sudah dimaklumi bahwa 'Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, dan Jubair bin Nufair tidak pernah mendengar dari 'Iyadl bin Ghanm, sebagaimana disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus (inqitha').
Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-hadits lain justru menyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi 'Iyadl bin Ghanm dengan terang-terangan ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah hadits dari 'Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim mendapati 'Iyadl bin Ghanm , pada saat itu ia berada di Himsh, menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, "Apa ini wahai 'Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia". Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi'ahnya. Selain itu, riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau terhadap ;Umair bin Sa'ad pada saat ia berada di Palestina atau di Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya dengan 'Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukkan Dariya., Ini bisa diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam. Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang "koreksi sembunyi-sembunyi" merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Walhasil, hadits-hadits yang antum ketengahkan itu seluruhnya gugur baik karena perawinya yang lemah (Mohammad bin 'Iyasy), maupun terputusnya Jubair bin Nufair dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim.


[1]      Dalam riwayat Ibnu Abi ‘Aashim (no. 1097-1098), Jubair bin Nufair menggunakan lafadh periwayatan : ‘qaala ‘Iyaadl bin Ghanm’ (telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm) dan ‘an ‘Iyaadl bin Ghanm’ (dari ‘Iyaadl bin Ghanm).
[2]      Apalagi sampai mengatakan Jubair telah menggugurkan perawi antaranya dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam. Atas dasar dan bukti apa ?
[3]      Baca kembali : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/takhrij-ringkas-hadits-iyaadl-bin-ghanm.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar