Powered By Blogger

Minggu, 15 Agustus 2010

Menuju Penegakan Hukum Allah (Bagian 2)

Berhukum dengan Apa yang Allah Turunkan dalam Tiap Perkara dan Korelasinya dengan Amr Ma’rūf Nahy Munkar
Sesungguhnya nash-nash yang memerintahkan untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah itu sifatnya umum, mencakup seluruh perkara.
Nabi ` bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلِك أَضْعَفُ الْإِيْمَان
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” [Riwayat Muslim]
Berdasarkan hadits di atas, seorang muslim wajib mengubah setiap kemungkaran yang dilihatnya, sesuai urutan yang sebutkan. Baik kemungkaran tersebut berupa pengharaman yang halal, penghalalan yang haram, tindakan yang salah, maupun bid’ah dalam agama. Dan, tidak ada satu dalil pun yang menggugurkan atau mengecualikan pihak yang menyerukan tegaknya hukum Allah sebagai undang-undang dan manhaj hidup dari kewajiban mengubah kemungkaran-kemungkaran yang baru saja disebutkan.

Selanjutnya, sesungguhnya umat yang mendidik dirinya sendiri di atas ketaatan dan melaksanakan perintah Allah adalah umat yang akan mendapatkan keberuntungan berupa kebahagiaan di dua tempat; kebahagiaan khilafah di muka bumi dan kebahagiaan surga di akhirat.
Allah berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Disebutkan dalam hadits:
إذَا تَبَايَعْتُمْ بالْعِينَةِ وَأخَذْتُمْ أذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ، سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إلَى دِينِكُم
“Apabila kalian melakukan transaksi dengan sistem`īnah, mengambil buntut-buntut sapi [yakni, kināyah (perumpaan) tentang kesibukan bercocok tanam yang melalaikan dari jihad, sebagaimana dalam Faidhul Qadīr], meridhai pertanian, dan meninggalkan jihad; maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Allah tidak akan mencabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [Riwayat Abū Dāwūd, al-Baihaqi dan lain-lain, dan dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.]
Nabi telah menyebutkan sebab-sebab kehinaan dan kekalahan; lantas bagaimanakah solusinya? Apakah kita tetap sibuk dengan pertanian dengan meninggalkan jihad di jalan Allah? Apakah kita senantiasa bodoh dalam agama?
Solusi dari masalah jelas dan terang: “Hingga kalian kembali kepada agama kalian!”
(Pertanyaannya, dapatkah kita kembali kepada agama jika tanpa diiringi ilmu yang benar? Kembali ke agama yang bagaimana? Apakah berdasarkan hawa nafsu atau madzhab atau pendapat individu tertentu? Ataukah dengan ilmu yang benar yang diambil dari nash al-Qur’ān dan Sunnah yang valid, dengan metode pengambilan dalil (istinbāth) yang benar?)
Ibn ‘Abbās—radhiyaLlāhu ‘anhumā—berkata, “Jadilah rabbāniyyūn,” yaitu orang-orang yang santun, faqīh dan alim. Dikatakan pula bahwa rabbāni adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar.
Maka, menjadi keharusan bagi pihak yang mengajarkan aqidah, tauhid, serta asmā’ wa shifāt (Nama dan Sifat Allah) untuk menjadikan tujuan dari pengajarannya tersebut adalah memberi faedah dan meluruskan ‘aqidah audiences, disertai keyakinan bahwa ini merupakan asas awal dari pondasi bangunan hukum Islam.
Menjadi keharusan bagi orang yang melakukan shalat untuk ikhlas dalam shalatnya. Janganlah berkeyakinan bahwa amalan tersebut merupakan fase yang terputus dari usaha menegakkan hukum Allah, bahkan ini merupakan salah satu pondasi dari proses tegaknya hukum Allah.
Menjadi keharusan bagi pihak yang meluruskan manhaj ittibā` Nabi e (peneladanan kepada Nabi `) untuk menyadari bahwa efek amalnya tersebut sangat besar bagi usaha menegakkan hukum Allah.
Tidaklah jauh dari ingatan kita bagaimana ayat-ayat al-Qur’ān yang turun sebelum tegaknya daulah Islam. Ayat-ayat tersebut memerintahkan Rasulullah ` untuk memberi peringatan, melaksanakan shalat malam, dan lain-lain yang semisalnya. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Allah mampu menjadikan Islam memiliki daulah/negara dan kekuatan meski tidak dibarengi semua proses tersebut. Namun, adanya perkara-perkara itu adalah agar kita sadar bahwa ada Sunnatullah yang berlaku dalam menegakkan hukum dan syariat Allah di bumi, di mana kita tidak mungkin bisa lari darinya.
Berhukum dengan Apa yang Allah Turunkan Adalah dengan Taat dan Memenuhi Seruan-Nya
Sunggguh, orang yang mencermati kisah Ibrāhīm u, ketika beliau meninggalkan isteri dan anaknya yang masih menyusui di suatu tempat yang demikian sepi, tanpa kawan—bahkan tanpa air—dalam rangka melaksanakan perintah Allah; niscaya dia akan mendapatkan berbagai `ibrah dan pelajaran yang sangat berharga. Ibrāhīm melaksanakan perintah Rabbnya dengan meletakkan isteri dan anaknya yang masih menyusui di tanah yang sunyi, sepi, dan gersang, tanpa sedikit pun memprotes, “Apa hikmah di balik ini? Apa faedahnya perintah ini?” Bahkan, beliau segera mentaati dan melaksanakan perintah-Nya.
Dahulu, Hajar bertanya, “Wahai Ibrāhīm, kepada siapa engkau meninggalkan kami?” Dalam sebagian riwayat al-Bukhāri disebutkan bahwa ia bertanya berulang kali. Namun, Ibrāhīm tidak menoleh kepadanya.
Akhirnya ia bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melaksanakan hal ini?”
“Ya,” jawab Ibrahim.
“Jika demikian, maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami,” kata Hajar.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku ridha kepada Allah.”
Isterinya tidak berkata, “Masih ada prioritas lain yang lebih penting…. Jika kami menemanimu, maka kami akan bermanfaat dalam dakwah kepada Allah. Hal ini lebih baik daripada engkau meninggalkan kami di padang pasir yang gersang.”
Demikianlah yang seharusnya. Jika kita telah mengetahui adanya perintah dari Allah, maka yang bisa kita lakukan adalah taat dan menjawab seruan-Nya. Sebagaimana yang terjadi pada Ummu Ismā`īl. Hal ini sampai menyebabkan ia berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, antara harapan untuk mendapat air dan cemas akan keselamatan puteranya yang sedang terengah-engah menghadapi kematian.
Inilah sebenar-benar jihad, kesungguhan dan kesabaran. Lalu, mengapa masih menggunakan sudut pandang materialistis? Demi Allah, yang menyebabkan umat kita binasa tidak lain adalah sudut pandang dan parameter yang rusak ini.
Hendaklah kita berkata, “Sungguh, inilah ketaatan kepada Allah!”
Lalu manakah buah dari ketaatan dan ketundukan tersebut?
Buah dari ketaatan tersebut bukan hanya untuk Ibrahim beserta isteri dan anaknya, bahkan untuk seluruh orang yang bertauhid hingga terjadinya hari kiamat. Kaum muslimin datang berduyun-duyun dari timur dan barat, dalam keadaan gembira dan suka cita. Mereka melakukan sā`i antara Shafā dan Marwah—tempat di mana Ibunda Isma’il melakukan hal yang serupa—untuk melatih diri memenuhi perintah Allah. Mereka mencoba merasakan bagaimana dahulu Ibunda Isma’il dahulu berlari-lari kecil dalam keadaan susah dan sedih, dalam rangka mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya di atas segala sesuatu.
Memancarlah air Zam-Zam yang mengandung kesembuhan, berkah, dan keutamaan dengan izin Allah, dimana kaum muslimin bersemangat untuk terus-menerus memakainya serta membawanya ke tempat tinggal mereka, meskipun jauh jaraknya.
Ibrāhīm dan Ismā’īl—‘alaihimas salaam—membangun Baitul Haram yang di dalamnya terdapat keutamaan dilipatgandakannya pahala shalat, thawaf, terkabulnya doa, dan lain-lain.
Demikianlah (sebagian) buah dari ketaatan dan memenuhi seruan Allah.
Maka hendaklah kita menghukumi diri kita dengan memenuhi seruan Allah dan menahan diri dari kemaksiatan serta kezhaliman, meskipun zhahir dari menjawab seruan Allah tersebut adalah kesukaran, kepayahan, bahkan kematian.
Mungkinkah kita termasuk orang-orang yang mengambil pelajaran dan `ibrah?!
Hal yang sama juga terjadi dalam kisah dihanyutkannya Mūsā ke sungai!
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)
Allah memerintahkan Ibunda Mūsā untuk menghanyutkan puteranya ke sungai, maka tidak ada pilihan baginya selain menjawab seruan-Nya.
Perbuatan ini zhahirnya merupakan sikap pengecut—apabila hanya ditinjau dari segi rasionalitas. Tidak mendatangkan manfaat bagi Mūsā dan juga Ibunya. Namun, ternyata hasil akhirnya adalah hikmah yang tidak pernah terlintas dalam benak siapapun.
Buah dari menjawab seruan-Nya ini adalah dikembalikannya Musa kepada ibunya, agar jiwa ibunya menjadi tenteram, tidak bersedih, dan agar dia yakin bahwa janji Allah adalah benar. Buah lainnya adalah diangkatnya Musa menjadi salah seorang Rasul yang ūlū’l `azmi.
Oleh karena itu, janganlah engkau tanyakan, “Apa faedahnya perintah ini?” Namun tanyakanlah, “Apakah Allah memerintahkan aku untuk melakukan hal ini? Apakah Rasul-Nya memerintahkan hal tersebut? Adakah nash yang shahih dalam masalah ini?”
Sungguh, segala faedah dan kebahagiaan benar-benar terletak pada menjawab perintah Allah, meskipun zhahirnya adalah kepayahan dan kesukaran. Sebaliknya, semua kemudharatan dan kesengsaraan terletak dalam penyelisihan terhadap perintah Allah, meskipun zhahirnya adalah kesenangan dan kebahagiaan.
Mengapa kisah-kisah tersebut tercantum dalam al-Qur’ān dan Sunnah?
Apakah untuk hiburan dan permainan?
Tentu tidak, namun untuk peringatan, diambil `ibrah-nya, dan untuk mengokohkan hati serta jiwa.
وَكُـلاًّ نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاء الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS. Huud: 120)
Kritik atas Slogan ‘Skala Priortias’ dalam Penegakan Hukum Allah
Berikut ini adalah sanggahan bagi mereka yang mengatakan bahwa hal ini hanyalah perkara-perkara parsial yang mematikan dakwah kepada tegaknya hukum Allah, di mana masih ada perkara-perkara lain yang perlu diprioritaskan.
[Prinsip ‘mendahulukan perkara yang terpenting atas perkara yang penting’ dan ‘skala prioritas’ adalah hal yang tidak dapat diingkari. Namun, kita tidak ingin menjadikan kaidah ini sebagai senjata untuk menentang mereka yang mengamalkan Sunnah, sehingga pada akhirnya kita mematikan perkara yang dianggap terpenting sekaligus perkara yang penting; mematikan perkara-perkara yang pokok (ushūl) dan perkara-perkara yang parsial (furū`). Akhirnya, tidak ada yang tersisa melainkan sekedar ucapan, simbolisme dan nyanyian di atas kehormatan orang-orang mulia yang mengamalkan Sunnah. Kemudian, jika memang terdapat sejumlah rintangan yang menghalangi kita dari merealisasikan perkara yang dianggap terpenting, maka apakah kita juga lantas meninggalkan perkara yang penting?! Bahkan, pelaksanaan perkara yang penting akan mengokohkan dan turut andil merealisasikan perkara yang dianggap terpenting.
Hendaklah yang menjadi fokus kita adalah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuan. Seandainya kita memang berada dalam kondisi yang sempit, hanya memungkinkan kita melaksanakan satu perkara saja yang kita ketahui, maka pada saat itu kita mendahulukan perkara yang dianggap terpenting atas perkara yang penting, perkara yang wajib atas perkara yang sunnah, dan seterusnya.]
Tidak ada suatu perkara—sebesar apapun itu—melainkan adalah bagian dari suatu keseluruhan dan cabang dari suatu pokok. Setiap yang universal pasti memiliki parsial, dan setiap pokok pasti memiliki cabang. Sampai-sampai kalimat syahadat ‘lā Ilāha illaLlāh’ pun hanya merupakan bagian dari dua kalimat syahadat.
Lebih jelasnya, sebagai berikut:
Sesungguhnya keberadaan masyarakat Islami yang diperintah oleh seorang khalifah muslim merupakan angan-angan setiap muslim yang berakal. Hal ini sebagaimana seseorang yang bercita-cita untuk tinggal dalam suatu istana yang megah. Maka bagaimana mungkin dia akan mendapatkan keinginannya, jika dia belum memulai membangun istana tersebut?!
Awal mula yang harus ia lakukan adalah menggali yang dalam untuk menciptakan pondasi bangunan yang kokoh dan kuat. Orang yang mengotak-ngotakkan masalah menjadi perkara parsial dan universal; atau masalah pokok (ushūl) dan cabang (furū`), adalah seperti orang yang menyanggah pihak lain yang turun untuk menggali dan membuat pondasi. Dia berkata, “Mengapa kalian malah turun, bukannya naik?! Kalian benar-benar telah memperlambat selesainya bangunan ini!”
Atau seperti halnya seseorang yang melihat sejumlah besi tergeletak di suatu tempat, sejumlah pasir tergeletak di tempat yang lain, sejumlah bata di tempat yang lain lagi, dan sejumlah kayu di tempat yang lain lagi, kemudian ia mengomel dan menggerutu, “Besi ini tidak akan dapat membentuk istana! Pasir ini juga tidak akan membentuk bangunan yang diinginkan! Apa yang bisa diperbuat dengan batu bata ini! Ia tidak akan menyampaikan kita kepada tujuan dan tidak akan merealisasikan hal-hal yang diinginkan! Sungguh jauh pekerjaan mereka dari tujuan yang hendak dicapai!”
Padahal, jika kita mau mengumpulkan berbagai bagian yang terpisah-pisah tadi dengan menambahkan beberapa unsur lainnya, tentulah akan terbentuk suatu istana yang megah, sehingga tercapailah cita-cita dan terealisasikanlah harapan.
Begitulah yang terjadi dengan perkara-perkara yang dinamakan parsial dan cabang. Apabila engkau melihat tiap amalan secara terpisah, engkau akan meremehkannya, seraya berkata, “Apa andil amalan ini dalam pembangunan masyarakat Islam dan tegaknya hukum Allah di muka bumi?!”
Seseorang yang memperhatikan pelajaran tauhid, sedekah yang ringan, shalat dua raka’at, amr ma’rūf nahy munkar, berbuat baik, mencegah bid’ah, dan lain-lain; niscaya ia mengatakan bahwa ini adalah bagian-bagian yang terpisah-pisah, tidak akan menghancurkan masyarakat jahiliyyah dan tidak akan merealisasikan bangunan masyarakat Islam. Namun, jika engkau menggabungkan bagian-bagian tersebut, engkau jadi yakin bahwa semua itu akan membentuk keseluruhan. Totalitas itu dibentuk dari hal-hal tadi. Bagian-bagian tersebut—dan bagian-bagian lain yang semisalnya—merupakan bagian dari bangunan masyarakat Islami. Semua itu merupakan bagian dari hukum Allah dan syariat-Nya.
Sekedar bicara tentang komprehensifitas dan kesempurnaan Islam adalah hal yang mudah. Namun, sekedar bicara tentang pembangunan istana yang megah tidak akan menyebabkan istana tersebut berdiri. Sebagaimana halnya sekedar bicara tentang komprehensifitas Islam tidak akan menyebabkan tegaknya daulah Islam. Maka dari itu, marilah kita berilmu, beramal, ikhlas, sabar, bersungguh-sungguh dan konsekuen.
Alhasil, adanya totalitas itu tidak lain disebabkan adanya bagian-bagiannya. Adanya pokok (ushūl) itu karena adanya cabang-cabang (furū`). Bagian-bagian tersebut tidaklah berdiri sendiri, tapi ia bergantung dengan sesuatu yang universal. Cabang-cabang tersebut tidaklah terpisah-pisah satu dengan lainnya, melainkan ia tersambung dengan perkara yang pokok.
Sekiranya ada masyarakat Islami yang diperintah oleh seorang khalifah mulia dengan menerapkan hukum Allah, maka bagaimanakah gambaran kita tentang ciri-ciri keluarga muslim yang ada dalam masyarakat tersebut?
Dalam benak kita mungkin terbayang munculnya kesadaran syariah secara ilmiah; baik dalam bidang tauhid, fiqh, maupun perilaku; adanya ucapan-ucapan yang baik, akhlak yang mulia, mu’amalah yang terpuji; terjaganya ketaatan, ibadah dan syi’ar-syi’ar Islam; dikenakannya pakaian yang Islami oleh pria dan wanita; adanya pengawasan mutu bagi makanan dan minuman yang beredar; dan lain sebagainya, dari perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah.
Namun, apa yang harus dilakukan jika belum ada khalifah muslim? Apakah semua perkara yang tadi disebutkan, atau bagian-bagian yang mudah darinya, masih mungkin untuk direalisasikan?
Ternyata, semua itu adalah kewajiban dari tiap pemimpin, atau jika engkau mau katakanlah ‘penguasa kecil’, yaitu untuk mendidik dirinya, anak-anaknya, dan orang-orang yang di bawah kekuasaannya untuk melaksanakan perkara-perkara tadi.
Pembicaraan ini bukan bermaksud untuk meremehkan masalah khalifah muslim. Tidak diragukan bahwa keberadaan khalifah muslim memiliki efek yang sangat dahsyat dalam perubahan masyarakat. Namun, pembicaraan kali ini berkisar tentang orang yang lisānu’l hāl-nya (tindak-tanduknya) seolah-olah memberi perintah untuk mengabaikan amal, hanya disebabkan tidak adanya khalifah muslim, sebab menurutnya amal tersebut akan melalaikan manusia dari penegakan hukum Allah!
Memang benar, terdapat perkara-perkara yang tidak bisa direalisasikan kecuali dengan adanya khalifah muslim, di mana tidak seharusnya perkara tersebut diabaikan. Namun, ada juga banyak perkara yang dapat direalisasikan oleh seluruh rakyat dan masyarakat dengan perjuangan yang keras. Sebab:
Setiap Orang Adalah Penguasa dan Pemimpin
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah ` bersabda:
كُلُّ نَفْسٍ مِنْ بَنِيْ آدَمَ سَيِّدٌ فَالرَّجُلُ سَيِّدُ أَهْلِهِ وَالْمَرْأَةُ سَيِّدَةُ بَيْتِهَا
“Setiap anak Adam adalah pemimpin. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan seorang wanita adalah pemimpin dalam rumahnya.” [Hadits ini di-takhrīj dan dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni dalam ash-Shahīhah no. 2401.]
Disebutkan pula didalam hadits:
كلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتِهِ: الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتهِ، والرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوجِهَا وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سيِّدِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعيَّتِهِ …
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing kalian-kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Seorang pria adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah adalah pemimpin (pengatur) rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah pemimpin (pengatur) harta majikannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.” [Riwayat al-Bukhāri: 893, dan Muslim: 1829.]
Demikianlah, setiap orang adalah pemimpin, penguasa, tuan dan wali di dalam rumahnya. Dia terkena tanggung jawab besar yang harus dia pikul; baik terdapat khalifah muslim ataupun tidak.
Islam itu terdiri dari simpul-simpul, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Simpul-simpul atau ikatan-ikatan Islam benar-benar akan terurai satu demi satu. Setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang akan berpegangan dengan simpul yang berikutnya. Simpul yang pertama kali terurai adalah hukum, dan yang terakhir adalah shalat.” [Riwayat Ahmad, Ibn Hibbān dan al-Hākim, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.]
Jika demikian, maka Islam terdiri dari berbagai bagian yang saling berkaitan. Hukum termasuk bagian yang terpenting, dan tercakup di dalamnya shalat, zakat, haji, dan seterusnya. Maka marilah kita benar-benar beramal, bersabar dan konsekuen.
Setiap muslim berkewajiban untuk merealisasikan hukum dengan apa yang Allah turunkan terhadap dirinya, keluarganya dan orang-orang yang ia mampu. Tidak gugur kewajiban tersebut darinya dengan alasan bahwa ia sedang disibukkan oleh dakwah untuk tegaknya hukum Islam sebagai manhaj, aturan hidup dan undang-undang negara!
Terdapat beberapa perkara yang pelakunya—atau orang-orang yang berdakwah kepadanya—dituduh sebagai orang yang mematikan tegaknya hukum Allah sebagai manhaj dan aturan hidup. Contohnya adalah dakwah kepada pelurusan aqidah, pemurnian Islam, pembinaan masyarakat di atas Islam yang murni tersebut, dan yang semisalnya.
Sebagai misal, mungkin akan Anda dapati perkataan sebagian orang tentang upaya meluruskan shaf (dalam shalat jama’ah), “Sekarang ini bukan saatnya untuk mengangkat masalah-masalah ini.” Namun, orang-orang yang mencermati secara saksama masalah ini niscaya akan mendapatkan realitas yang bertolak belakang dengan pernyataan tadi. Sebab Rasulullah ` bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Luruskanlah shaf kalian dan janganlah kalian berselisih (tidak lurus dalam shaf), sehingga hati-hati kalian jadi berselisih.” [Riwayat Muslim: 432.]
Dari an-Nu’mān Ibn Basyīr, beliau berkata:
أَقْبَلَ رَسُوْلُ الله ` عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فقال: أَقِيْمُوْا صُفُوفَكُمْ – ثَلاَثاً – وَالله لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيَخَالِفَنَّ الله بَيْنَ قُلوبِكُمْ
“Rasulullah menghadap orang-orang dengan wajah beliau, kemudian beliau bersabda, ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian,’ beliau mengulanginya tiga kali, ‘demi Allah, kalian benar-benar meluruskan shaf-shaf kalian, atau Allah benar-benar akan memperselisihkan antara hati-hati kalian.’” [Riwayat Abū Dāwūd dan Ibn Hibbān, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni.]
Nabi ` menjelaskan bahwa tidak lurusnya shaf akan menyebabkan perselisihan hati. Bukan sebaliknya! Tidak sebagaimana asumsi sebagian orang bahwa berbicara tentang meluruskan shaf akan mencerai-beraikan hati kaum muslimin dan menyibukkan mereka dari masalah-masalah yang universal.
Selanjutnya, perselisihan hati tersebut akan menggiring umat ini kepada kegagalan, kebinasaan dan hilangnya kekuatan.
Allah berfirman:
وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al-Anfaal: 46)
Rasulullah ` bersabda:
لاَ تَخْتَلِفُوْا، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اِخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا
“Janganlah kalian berselisih! Sungguh, orang-orang sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa.” [Riwayat al-Bukhāri: 2410]
Dengan menggabungkan nash-nash yang ada, maka maknanya menjadi, “Luruskanlah (shaf-shaf kalian) dan janganlah kalian berselisih; sehingga kalian mengalami kebinasaan, kegagalan, kehilangan kekuatan, dan kalian akan dikalahkan oleh musuh kalian.”
Adapun asumsi sebagian orang bahwa solusi yang tepat dan tegaknya hukum Allah tidak akan tercapai melainkan dengan mengabaikan masalah meluruskan shaf dan masalah lain yang semisalnya; lalu ia berbicara tentang tata cara memerangi musuh dan menanggulangi invasi pemikiran yang rusak; maka hal ini dapat diumpakan seperti orang yang memandang bahwa shalat itu lebih penting dari puasa dan berbagai perkara lainnya, lantas ia mengingkari orang lain yang sedang berbicara tentang urgensi puasa, haramnya mu’amalah dengan riba, dan seterusnya, dengan dalil bahwa saat ini orang-orang telah menyia-nyiakan shalat dan tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya. Tentu saja hal ini merupakan kekeliruan. Kewajiban yang ada jumlahnya sangat banyak dan beraneka ragam, di mana setiap muslim diperintahkan untuk mengerjakan apa yang ia sanggup dari kewajiban-kewajiban tersebut.
Tidak ada faktor pendorong yang mengharuskan pertentangan suatu kewajiban dengan kewajiban lainnya. Jihad di jalan Allah merupakan suatu kewajiban, dakwah kepada-Nya merupakan kewajiban, memerangi aqidah yang rusak merupakan kewajiban, memerangi ghībah (gunjingan) dan namimah (adu domba) merupakan kewajiban, berbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban, dan meluruskan shaf juga merupakan suatu kewajiban. Seorang muslim akan dimintai pertanggungjawaban terhadap semua itu, sesuai dengan kesanggupannya.
Adapun pernyataan mereka tentang adanya skala prioritas, bahwa ada perkara yang sifatnya urgen dan sangat urgen, maka merupakan pernyataan yang benar dan baik, jika bertujuan untuk memadukan berbagai ketaatan yang ada dan berlomba-lomba dalam kebaikan, dan bukan untuk mematikan amal shalih!
Jika pintu keinginan mereka yang sebenarnya itu dibuka, niscaya tidak akan ada lagi amr ma’ruf nahy munkar, melainkan hanya sekedar perkataan, “Hukum Allah! Hukum Allah! Hukum Allah!”
Hal lain yang patut diperhatikan, tidak ada suatu perkara yang urgen melainkan akan ada perkara lain yang lebih urgen darinya. Kaidah ini tetap berlaku—bahkan dalam masalah dua kalimat syahadat! Sebab bisa jadi akan dikatakan bahwa syahadat lā ilāha illaLlāh lebih urgen dibandingkan syahadat muhammadu’rrasulullah.
Karena itu, adanya perkara yang dianggap paling urgen tidaklah mengabaikan perkara yang urgen. Namun, dalam kondisi sempit, di mana hanya dimungkinkan pelaksanaan satu perkara saja, pada saat itulah kita mendahulukan perkara yang dianggap paling urgen atas perkara yang urgen, sebagaimana halnya kita mendahulukan perkara yang wajib di atas perkara yang sunnah.
Jika kondisinya masih lapang—di mana kondisi ini merupakan hukum asal dari permasalahan yang tengah dibahas—maka kita berusaha untuk melaksanakan perkara yang paling urgen sekaligus perkara yang urgen sesuai kesanggupan kita. Dalilnya adalah firman Allah:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Juga sabda Nabi `: “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya; bila tidak mampu, maka dengan lisannya; bila tidak mampu juga, maka dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” [Riwayat Muslim]
Dan seharusnya kita pun tidak melupakan kaidah yang berbunyi:
لاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِِ
“Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu kebutuhan.”
Karena itu, jika engkau mendengar seseorang tengah menyebutkan sebuah hadits palsu, apakah engkau akan menunggu tegaknya hukum Allah sebagai peraturan dan undang-undang terlebih dahulu?! Setelah itu barulah engkau katakan kepada orang tadi, “Dahulu, beberapa tahun yang lalu, engkau pernah menyebutkan sebuah hadits palsu!”
Siapa yang dapat menjamin bahwa engkau atau orang tadi tetap hidup sampai saat Islam memiliki daulah/negara? Siapa yang dapat menjamin bahwa engkau dapat mengingat setiap kemungkaran yang wajib untuk dicegah, atau setiap perkara yang engkau dikenai kewajiban untuk memerintahkan dan menyampaikannya?
Demikian pula jika engkau melihat seseorang yang melakukan suatu kemungkaran; apakah engkau akan menunggu tegaknya daulah/negara Islam, setelah itu barulah engkau menghubungi kembali orang tadi dan mencegahnya; ataukah engkau segera menerapkan hadits mulia yang baru saja disebutkan?
Kata ‘kemungkaran’ dalam hadits di atas disebutkan secara nakirah (indefinit, bermakna universal). Sebab, kemungkaran tersebut terkadang bentuknya kecil dan terkadang juga besar.
Demikianlah manhaj para sahabat y dalam berdakwah kepada Allah. Sebagai contoh, renungkanlah kisah terbunuhnya salah satu khalifah yang bijaksana, ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam riwayat disebutkan: “`Umar dibawa ke rumahnya (setelah peristiwa penikaman beliau), maka kami pun pergi bersamanya. Seolah-olah masyarakat belum pernah ditimpa satu musibah pun sebelum hari itu. Ada yang mengatakan, ‘Tidak mengapa’. Ada lagi yang mengatakan, ‘Aku mengkhawatirkannya’.
Ketika itu, ada yang membawakan nabīdz untuk `Umar, maka beliau meminumnya. Namun ternyata minuman tersebut keluar lagi dari perutnya. Ada pula yang membawakan susu untuknya. Beliau pun meminumnya. Tapi ternyata susu itu pun keluar kembali melalui luka tusukannya. Akhirnya mereka menyadari bahwa `Umar tidak lama lagi akan wafat.
Kami segera masuk menemuinya. Orang-orang pun berdatangan, kemudian mereka mulai menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
Selanjutnya datanglah seorang pemuda. Ia berkata, “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin dengan berita gembira dari Allah untukmu. Engkau telah bersahabat dengan Rasulullah `. Engkau termasuk orang-orang yang terlebih dahulu masuk Islam—sebagaimana yang kau ketahui. Lalu engkau memimpin dan berbuat adil. Dan akhirnya engkau mendapatkan mati syahid.”
`Umar berkata, “Aku harap semua itu cukup untukku, meski tidak kurang dan tidak lebih.”
Saat pemuda tadi berpaling, tampak bahwa sarungnya menyentuh tanah, maka `Umar berkata, “Panggil kembali pemuda tadi.”
Kemudian beliau berkata kepada si pemuda
يَا ابْنَ أَخِي، اِرْفَعْ إِزَارَكَ؛ فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ
“Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu (sampai di atas mata kaki). Sebab yang demikian itu lebih kekal untuk pakaianmu, dan lebih taqwa untuk Rabbmu.” [Riwayat al-Bukhāri]
Renungkan kembali ucapan ‘Umar di atas, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Sebab yang demikian itu lebih kekal untuk pakaianmu, dan lebih takwa untuk Rabbmu.”
Beliau menganjurkan untuk mengangkat pakaian sarung! Apakah anjuran ini dilontarkan ketika beliau sedang memakan makanan, buah-buahan dan manisan?! Tidak, sama sekali tidak. Beliau kemukakan anjuran ini pada saat beliau sedang berada dalam kondisi yang sangat kritis.
`Umar yang sedang sekarat mengemukakan hal tersebut pada saat kaum muslimin tengah merasa ditimpa musibah dan kepedihan yang dahsyat (karena musibah yang menimpa beliau). Saat kaum muslimin tengah disibukkan dengan urusan khilafah. Ketika mereka tengah disibukkan dengan kondisi `Umar. `Umar mengatakan yang demikian pada saat tiga belas orang sahabat ditikam, tujuh diantaranya meninggal dunia.
Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki akal dan penglihatan. Demikianlah gambaran yang benar tentang pengagungan Allah Ta’ala. Demikianlah gambaran yang benar tentang pengagungan perintah-perintah Allah Ta’ala. Jika engkau termasuk orang yang membanggakan `Umar, maka inilah jalan dan metode beliau.
Beliau tidak mengotak-ngotakkan agama menjadi kulit dan inti! Demikianlah wujud ketaatan kepada Allah dalam setiap perintah yang telah sampai kepada beliau, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah `.
Lihatlah, berapa banyak perintah yang kita tinggalkan dengan dalih tersibukkan oleh jihad!
Betapa seringnya kita menyanggah orang yang mencegah bid’ah dan kesesatan. Kita merasa bahwa itu hanyalah sekedar permasalahan-permasalahan parsial yang menyibukkan kita dari menegakkan hukum Allah di bumi!
Namun, mana jihad yang telah kita realisasikan?! Mana hukum yang telah kita tegakkan?!
Tidak ada kontradiksi dari perkara-perkara di atas. Karena itu, marilah kita mempersiapkan diri dengan persiapan yang benar untuk berjihad di jalan Allah; marilah kita berusaha untuk menegakkan hukum Allah Ta’ala di bumi; marilah kita mencegah berbagai bid’ah, kesesatan dan kemungkaran; marilah kita menganjurkan kebaikan serta hal-hal yang ma’rūf, demikian seterusnya. Di manakah letak kontradiksi?!
(Bersambung… in syā-aLlāh)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar